ASWAJA
By. Lu’luul
Mar’ah
A.
Sejarah Aswaja
Perkembangan histori aswaja. Aswaja
muncul meliputi tiga fase yaitu fase teologi, fase sosial-politik dan fase
madzhab[1].
1.
Fase teologi
Aswaja pada fase
teologi dibagi lagi ke dalam dua fase, yaitu fase teologi substantif dan fase
teologi formal. Pada fase teologi substantif, Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad
diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari. Ini fase awal di
mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian dikenal
dengan Islam. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia
juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh
Nabi.
Pada fase teologi
substantif ini, kalimat Aswaja sama sekali tidak muncul, tetapi secara
substantif umat manusia diajak untuk mengikuti ajaran Muhammad dan para
sahabat, sehingga meski tidak secara formal muncul kalimat “ahlussunnah wal
jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan
sahabatnya yang secara substantif berarti “ahlussunnah wal jama’ah”. Pada fase
ini, orang-orang yang menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut
Aswaja. Oleh karena itu, fase ini dinamakan dengan fase teologi substantif.
Selanjutnya adalah fase
teologi formal. Fase ini berlangsung saat Nabi Muhammad menjelang wafat dan
memberikan wejangan kepada umatnya bahwa umat Islam kelak akan terbagi ke dalam
73 golongan. Dan, semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni
golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabat. Hadis ini yang kemudian oleh
warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab Aswaja. Bunyi
hadisnya adalah “Ma’ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya harfiahnya adalah
“Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”
2. Fase sosial-politik
Peristiwa ini muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad wafat hingga dalam
periode tertentu muncul ulama besar bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H - 324H,
64 tahun), tokoh Muktazilah yang kemudian keluar dan mendirikan madzab baru
dengan semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”. Pengikut madzab ini kemudian
dinamakan Asya’ariyah. Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang
mendukung semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi
yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian
secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali
semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya
arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak
membingungkan umat Muslim.
Kita kembali kepada sejarah setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga munculnya
aliran formal Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan dipopulerkan kembali
oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kepala negara
atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar
Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang
demokratis. Nabi Muhammad sama sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan
menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai
pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar
Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran
tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman
Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis
yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad
bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga
melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal
negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.
Pertengkaran atau pertikaian muncul disaat para Sahabat mulai
menentukan siapa yang layak mengganti Nabi sebagai penguasa politik. Kemudian
berlanjut pada terbunuhnya Usman, menyusul perang antara Ali dan Aisyah, istri
Nabi (Perang Jamal), dan antara Perang antara Ali dan Muawiyah (Perang Siffin).
Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul
yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan
Muawiyah. Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi
kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa
Muawiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal
dengan tahkim, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al
Quran berada diujung tombak sebagai tawaran damai.
Periode
selanjutnya Muawiyah berkuasa, dan untuk melanggengkan kekuasaannya tersebut,
Muawiyah—atau dikenal dengan Bani Umayyah—membuat aliran keagamaan yang disebut
dengan aliran Jabariyah dengan doktrin ajarannya yaitu; “semua yang terjadi
dalam dunia ini adalah kehendak Allah. Termasuk Muawiyah menang dari Ali itu
juga dikehendaki oleh Allah”. Pendek kata, dalam doktrin Jabariyah dengan
pemahaman bahwa apapun yang dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan
diinginkan oleh Allah. Dengan doktrin dan pemahaman ini, kemudian dalam
kehidupan masyarakat muncul banyak pengemis, ekonomi hancur, masyarakat banyak
yang tidak berusaha karena lebih menjalankan rutinitas ritual dan tidak mau
mencari rizki.
Sebagai
perimbangan dan anti tesis atas paham Jabariyah tersebut, kemudian muncul paham
Qodariyah yang dipelopori oleh cucu Ali bin Abi Thalib dengan nama Muhammad bin
Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dengan paham yang sebaliknya, bahwa; “manusia
ini yang berkehendak atau yang berkuasa, dan Allah tidak turut campur terhadap
apa yang dilakukan oleh manusia. Karena manusia berkehendak, maka Allah tidak
turut campur dan manusia harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya”.
Dari sinilah kemudian mulai ada reformasi (pembaharuan), yang kemudian Bani
Umayyah tumbang dan mampu digulingkan, selanjutnya digantikan oleh Bani
Abbasiyah.
Aliran
Qodariyah pada masa Bani Abbasiyah benar-benar dijadikan sebagai spirit
pembangunan negara yang turunannya dengan sedikit modifikasi, atau yang kita
kenal dengan paham Mu’tazilah. Karena akal lebih mendominasi dalam pandangan
dan prinsip Mu’tazilah, sehingga menimbulkan kebablasan dalam berfikirnya,
karena semuanya diukur dengan akal dan kehendak manusia (akal mutlak). Sampai
kemudian terjadi peristiwa―ketika salah satu dari keturunan Bani Abbasiyah,
yaitu masa khalifah Al-Ma’mun―dimana paham Mu’tazilah dijadikan sebagai paham
resmi negara, sehingga timbul banyak korban bagi mereka yang tidak sepaham.
Peristiwa tersebut dikenal dengan Mihnah (inquisition).
Saat
runtuhnya Mu’tazilah dan bangkitnya khalifah al-Mutawakil, dia membuang mazhab
Mu’tazilah, karena terlalu over dan masyarakat sudah jenuh dengan gerakannya.
Mutawakil kemudain condong membela mazhab Ahli Hadits, yaitu mazhabnya Ahmad
bin Hambal.
Selanjutnya,
pada akhir abad ke-3 Hijrah muncullah dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu Hasan
Al Asy’ari (di Basrah) dan Abu Mansur Al Maturidi (di Samarkand). Al Asy’ari
belajar bersama gurunya, yaitu Abu Ali al-Jubbai selama 40 tahun. Sehingga
termasuk tokoh Mu’tazilah, yang karena kepintaran dan kemahirannya sering
mewakili gurunya dalam berdiskusi. Tetapi kemudian Asy’ari meninggalkan gurunya
dan paham Mu’tazilah, karena adanya perbedaan pandangan dengan gurunya, serta
membentuk paham dan mazhab baru. Dan jadilah pendapat Asy’ari itu dengan mazhab
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Memang,
untuk kepentingan umat dan agama, Asy’ari kompromikan antara nash dan akal.
Sebab, berpegang pada nash secara
harfiah dan mengharamkan penggunaan akal adalah keliru. Tetapi sebaliknya,
memperturutkan pendapat akal semata untuk menyusun pendapat berkaitan dengan
aqidah adalah suatu kesalahan yang fatal. Al-Qur’an dan as-Sunnah juga tidak
mengabaikan akal dan tidak mengharamkan wajar. Penggunaan akal dalam memaknai
dan membela syari’ah adalah suatu kemestian, dan bukan suatu kesesatan.
Al-Asy’ari memperoleh kedudukan dan mempunyai banyak pendukung dan pembelaan
dari penguasa. Ia mengalahkan musuh-musuhnya, baik Mu’tazilah maupun kaum yang
lain, serta orang-orang kafir.
Seiring berkembangnya Aswaja sebagai aliran pemikiran atau disebut ideologi
yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan dalam hal peribadatan. Aswaja
menjadi ideologi yang secara formal menjadi visi, spirit dan manhajul fikr bagi
organisasi keislaman, seperti NU.
NU didirikan oleh KH. Hasyim Al Asy’ari sebagai wadah orang-orang yang
mengembangkan ajaran-ajaran Islam ala ahlusunnah wal jamaah.
B. Pengertian Aswaja
Ahlussunnah wal
Jamaah atau yang biasa disingkat dengan Aswaja secara bahasa berasal dari kata
‘Ahlun’ yang
artinya keluarga, golongan atau pengikut. ‘Ahlussunnah’ berarti
orang yang mengikuti sunnah, baik perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw.
Sedangkan ‘al-Jama’ah’ adalah
sekumpulan orang yang
memiliki tujuan.
Jika Secara istilah, Ahlusunnah wal jamaah berarti suatu golongan yang
mengikuti sunnah Nabi Saw., para sahabat, dan para alim ulama yang berlandaskan
Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Menurut Said Aqil Siradj, Aswaja adalah
kelompok yang bersikap netral (tengah-tengah) tidak memihak pada salah satu
partai yang ada, dan lebih berorientasi pada kegiatan ilmiah dan amal ibadah.
C. Aswaja dalam Perspektif NU[2]
Dalam sejarah perkembangannya, aswaja selalu mengikuti perkembangan zaman. Yakni
aswaja sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah manhajul Fikr (metodologi
berfikir) atau faham saja yang di dalamnya masih memuat banyak aliran dan
madzhab.
Diantara , sebagai berikut :
1. Bidang Akidah
Dalam bidang ini,
aswaja Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
2. Bidang fikih
Nahdlatul
Ulama mengikuti jalan pendekatan (al-madhhab) salah satu dari mazhab Abu
Hanifah al Nu’man, Imam Malik Ibn Anas, Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, dan
Ahmad Ibn Hanbal.
3. Bidang tasawuf
Dalam
bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam aljunaid al-Baghdadi, Imam
al-Ghazali serta imam-imam yang lain
D. Nilai-Nilai Aswaja
Manhajul fikr yang diranahkan KH. Said Aqil Siradj dalam ijtihad aswaja
organisasi NU yaitu :
1. Tawasuth (Moderat)[3]
Sikap pertengahan,
tidak ekstrim kanan juga tidak ekstrim kiri. Sehingga menghadapi persoalan
harus seimbang. Tawasuth yaitu sikap tengah yang berintikan prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan
masyarakat, dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk
pendekatan yang bersifat ekstrim. Tawasuth memprioritaskan dan mengorientasikan sikap,
tindakan dan sifat-sifat manusia maupun masyarakat selalu dalam keadaan yang
tepat
2. Tawazun (Seimbang)
Pada sikap ini,
persoalan harus seimbang. Yakni dalam menghadapi persoalan harus menggunakan
landasan tekstual (Al Qur’an dan Hadits) dan mempertimbangkan dengan akal.
Jadi, tidak boleh hanya mengedepankan salah satu. Keseimbangan antara kepentingan dunia dan
kepentingan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
sosial, antara masa lalu dan masa depan, antara hak dan kewajiban.
3. Tasamuh (Toleran)
Sikap toleran merupakan
sikap saling menghargai antarsesama. Saling menghargai antarras, suku dan
bangsa juga mereka mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Sehingga warga
Nahdliyin dapat hidup berdampingan dengan mereka. Tasamuh dapat diartikan sebagai sikap toleran
terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu'iyah, sehingga dapat
hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir,
dan budaya berbeda.
4. Taadul (Adil)
I’tidal sama dengan adil, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya
(proporsinya). Sikap tegak lurus
dalam menghadapi persoalan. Artinya kita harus hak dalam menegakkan kebenaran.
E. Aswaja Sebagai Manhajul Fikr
Para Ulama’ NU di
Indonesia menganggap Aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan
prinsip-prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’addul
(Keadilan). Maka Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai
metode berfikir (manhaj
al-fikr)
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas
dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak
menarik lagi dihadapan dunia modern.
Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah, sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah; “Orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi,
menjaga
keseimbangan,
keadilan dan toleransi”.
Salah satu karakter
Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena
itu Aswaja tidaklah jumud, tidak
kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis,
apa lagi ekstrime. Sebaliknya, Aswaja
bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah
kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan
prinsip al-shalih
wa al-ahslah.
Karena implementasi dari qaidah ‘al-muhafadhoh ala qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid
al-ashlah’,
adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini
dan masa yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA
Abdusshomad,
Muhyidin. 2009. Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi. Surabaya : Khalista.
Akrom, Mizanul. 2018. Ahlussunnah
wal Jamaah. Modul Mapaba PMII 2018 Komisariat Joko Sangkrip IAINU Kebumen.
Buku kuliah semester 1 tahun 2017
Huda, Nuril A.N. 2007. Ahlussunnah
wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian. Jakarta : LDNU
Lismanto SHI. 25 September 2014. Sejarah
Lengkap Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). http://www.islamcendekia.com/2014/09/sejarah-lengkap-ahlussunnah-wal-jamaah-aswaja.html. diakses pada 30 Maret 2018
Qomar, Mujamil. 2014. Implementasi Aswaja dalam Perspektif NU di
Tengah Kehidupan Masyarakat. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
[1]
Lismanto SHI. 25 September 2014. Sejarah Lengkap Ahlussunnah wal jamaah
(Aswaja).
[2]
Mujamil Qomar, IMPLEMENTASI ASWAJA DALAM PERSPEKTIF NU DI TENGAH KEHIDUPAN
MASYARAKAT, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, Agustus 2014 .
hal 169