Selasa, 09 Oktober 2018

sejarah, pengertian, dan nilai aswaja


ASWAJA
By. Lu’luul Mar’ah

A.    Sejarah Aswaja
Perkembangan histori aswaja. Aswaja muncul meliputi tiga fase yaitu fase teologi, fase sosial-politik dan fase madzhab[1].
1.      Fase teologi
Aswaja pada fase teologi dibagi lagi ke dalam dua fase, yaitu fase teologi substantif dan fase teologi formal. Pada fase teologi substantif, Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari. Ini fase awal di mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan Islam. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh Nabi.
Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama sekali tidak muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk mengikuti ajaran Muhammad dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal muncul kalimat “ahlussunnah wal jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara substantif berarti “ahlussunnah wal jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang yang menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja. Oleh karena itu, fase ini dinamakan dengan fase teologi substantif.
Selanjutnya adalah fase teologi formal. Fase ini berlangsung saat Nabi Muhammad menjelang wafat dan memberikan wejangan kepada umatnya bahwa umat Islam kelak akan terbagi ke dalam 73 golongan. Dan, semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabat. Hadis ini yang kemudian oleh warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab Aswaja. Bunyi hadisnya adalah “Ma’ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya harfiahnya adalah “Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”
2.      Fase sosial-politik
Peristiwa ini muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad wafat hingga dalam periode tertentu muncul ulama besar bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H - 324H, 64 tahun), tokoh Muktazilah yang kemudian keluar dan mendirikan madzab baru dengan semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”. Pengikut madzab ini kemudian dinamakan Asya’ariyah. Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak membingungkan umat Muslim.
Kita kembali kepada sejarah setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga munculnya aliran formal Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan dipopulerkan kembali oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad sama sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.
Pertengkaran atau pertikaian muncul disaat para Sahabat mulai menentukan siapa yang layak mengganti Nabi sebagai penguasa politik. Kemudian berlanjut pada terbunuhnya Usman, menyusul perang antara Ali dan Aisyah, istri Nabi (Perang Jamal), dan antara Perang antara Ali dan Muawiyah (Perang Siffin).
Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah. Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada diujung tombak sebagai tawaran damai.
Periode selanjutnya Muawiyah berkuasa, dan untuk melanggengkan kekuasaannya tersebut, Muawiyah—atau dikenal dengan Bani Umayyah—membuat aliran keagamaan yang disebut dengan aliran Jabariyah dengan doktrin ajarannya yaitu; “semua yang terjadi dalam dunia ini adalah kehendak Allah. Termasuk Muawiyah menang dari Ali itu juga dikehendaki oleh Allah”. Pendek kata, dalam doktrin Jabariyah dengan pemahaman bahwa apapun yang dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan diinginkan oleh Allah. Dengan doktrin dan pemahaman ini, kemudian dalam kehidupan masyarakat muncul banyak pengemis, ekonomi hancur, masyarakat banyak yang tidak berusaha karena lebih menjalankan rutinitas ritual dan tidak mau mencari rizki.
Sebagai perimbangan dan anti tesis atas paham Jabariyah tersebut, kemudian muncul paham Qodariyah yang dipelopori oleh cucu Ali bin Abi Thalib dengan nama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dengan paham yang sebaliknya, bahwa; “manusia ini yang berkehendak atau yang berkuasa, dan Allah tidak turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh manusia. Karena manusia berkehendak, maka Allah tidak turut campur dan manusia harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya”. Dari sinilah kemudian mulai ada reformasi (pembaharuan), yang kemudian Bani Umayyah tumbang dan mampu digulingkan, selanjutnya digantikan oleh Bani Abbasiyah.
Aliran Qodariyah pada masa Bani Abbasiyah benar-benar dijadikan sebagai spirit pembangunan negara yang turunannya dengan sedikit modifikasi, atau yang kita kenal dengan paham Mu’tazilah. Karena akal lebih mendominasi dalam pandangan dan prinsip Mu’tazilah, sehingga menimbulkan kebablasan dalam berfikirnya, karena semuanya diukur dengan akal dan kehendak manusia (akal mutlak). Sampai kemudian terjadi peristiwa―ketika salah satu dari keturunan Bani Abbasiyah, yaitu masa khalifah Al-Ma’mun―dimana paham Mu’tazilah dijadikan sebagai paham resmi negara, sehingga timbul banyak korban bagi mereka yang tidak sepaham. Peristiwa tersebut dikenal dengan Mihnah (inquisition).
Saat runtuhnya Mu’tazilah dan bangkitnya khalifah al-Mutawakil, dia membuang mazhab Mu’tazilah, karena terlalu over dan masyarakat sudah jenuh dengan gerakannya. Mutawakil kemudain condong membela mazhab Ahli Hadits, yaitu mazhabnya Ahmad bin Hambal.
Selanjutnya, pada akhir abad ke-3 Hijrah muncullah dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu Hasan Al Asy’ari (di Basrah) dan Abu Mansur Al Maturidi (di Samarkand). Al Asy’ari belajar bersama gurunya, yaitu Abu Ali al-Jubbai selama 40 tahun. Sehingga termasuk tokoh Mu’tazilah, yang karena kepintaran dan kemahirannya sering mewakili gurunya dalam berdiskusi. Tetapi kemudian Asy’ari meninggalkan gurunya dan paham Mu’tazilah, karena adanya perbedaan pandangan dengan gurunya, serta membentuk paham dan mazhab baru. Dan jadilah pendapat Asy’ari itu dengan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.
Memang, untuk kepentingan umat dan agama, Asy’ari kompromikan antara nash dan akal. Sebab, berpegang pada nash secara harfiah dan mengharamkan penggunaan akal adalah keliru. Tetapi sebaliknya, memperturutkan pendapat akal semata untuk menyusun pendapat berkaitan dengan aqidah adalah suatu kesalahan yang fatal. Al-Qur’an dan as-Sunnah juga tidak mengabaikan akal dan tidak mengharamkan wajar. Penggunaan akal dalam memaknai dan membela syari’ah adalah suatu kemestian, dan bukan suatu kesesatan. Al-Asy’ari memperoleh kedudukan dan mempunyai banyak pendukung dan pembelaan dari penguasa. Ia mengalahkan musuh-musuhnya, baik Mu’tazilah maupun kaum yang lain, serta orang-orang kafir.
Seiring berkembangnya Aswaja sebagai aliran pemikiran atau disebut ideologi yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan dalam hal peribadatan. Aswaja menjadi ideologi yang secara formal menjadi visi, spirit dan manhajul fikr bagi organisasi keislaman, seperti NU.
NU didirikan oleh KH. Hasyim Al Asy’ari sebagai wadah orang-orang yang mengembangkan ajaran-ajaran Islam ala ahlusunnah wal jamaah.
B.     Pengertian Aswaja
Ahlussunnah wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan Aswaja secara bahasa berasal dari kata ‘Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut. ‘Ahlussunnah berarti orang yang mengikuti sunnah, baik perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw. Sedangkan ‘al-Jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan.
Jika Secara istilah, Ahlusunnah wal jamaah berarti suatu golongan yang mengikuti sunnah Nabi Saw., para sahabat, dan para alim ulama yang berlandaskan Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Menurut Said Aqil Siradj, Aswaja adalah kelompok yang bersikap netral (tengah-tengah) tidak memihak pada salah satu partai yang ada, dan lebih berorientasi pada kegiatan ilmiah dan amal ibadah.

C.    Aswaja dalam Perspektif NU[2]
Dalam sejarah perkembangannya, aswaja selalu mengikuti perkembangan zaman. Yakni aswaja sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja yang di dalamnya masih memuat banyak aliran dan madzhab.
Diantara , sebagai berikut :
1.      Bidang Akidah
Dalam bidang ini, aswaja Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
2.      Bidang fikih
Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al-madhhab) salah satu dari mazhab Abu Hanifah al Nu’man, Imam Malik Ibn Anas, Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, dan Ahmad Ibn Hanbal.
3.      Bidang tasawuf
Dalam bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam aljunaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain


D.    Nilai-Nilai Aswaja
Manhajul fikr yang diranahkan KH. Said Aqil Siradj dalam ijtihad aswaja organisasi NU yaitu :
1.      Tawasuth (Moderat)[3]
Sikap pertengahan, tidak ekstrim kanan juga tidak ekstrim kiri. Sehingga menghadapi persoalan harus seimbang. Tawasuth yaitu sikap tengah yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan masyarakat, dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim. Tawasuth memprioritaskan dan mengorientasikan sikap, tindakan dan sifat-sifat manusia maupun masyarakat selalu dalam keadaan yang tepat
2.      Tawazun (Seimbang)
Pada sikap ini, persoalan harus seimbang. Yakni dalam menghadapi persoalan harus menggunakan landasan tekstual (Al Qur’an dan Hadits) dan mempertimbangkan dengan akal. Jadi, tidak boleh hanya mengedepankan salah satu. Keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan sosial, antara masa lalu dan masa depan, antara hak dan kewajiban.
3.      Tasamuh (Toleran)
Sikap toleran merupakan sikap saling menghargai antarsesama. Saling menghargai antarras, suku dan bangsa juga mereka mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Sehingga warga Nahdliyin dapat hidup berdampingan dengan mereka. Tasamuh dapat diartikan sebagai sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu'iyah, sehingga dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budaya berbeda.
4.       Taadul (Adil)
I’tidal sama dengan adil, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya (proporsinya). Sikap tegak lurus dalam menghadapi persoalan. Artinya kita harus hak dalam menegakkan kebenaran.
E.     Aswaja Sebagai Manhajul Fikr
Para Ulama’ NU di Indonesia menganggap Aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’addul (Keadilan). Maka Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.
Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah, sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah; Orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, keadilan dan toleransi”.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrime. Sebaliknya, Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-shalih wa al-ahslah. Karena implementasi dari qaidah ‘al-muhafadhoh ala qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah’, adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang



DAFTAR PUSTAKA
            Abdusshomad, Muhyidin. 2009. Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi. Surabaya : Khalista.
Akrom, Mizanul. 2018. Ahlussunnah wal Jamaah. Modul Mapaba PMII 2018 Komisariat Joko Sangkrip IAINU Kebumen.
Buku kuliah semester 1 tahun 2017
Huda, Nuril A.N. 2007. Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian.  Jakarta : LDNU
Lismanto SHI. 25 September 2014. Sejarah Lengkap Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). http://www.islamcendekia.com/2014/09/sejarah-lengkap-ahlussunnah-wal-jamaah-aswaja.html. diakses pada 30 Maret 2018
Qomar, Mujamil. 2014. Implementasi Aswaja dalam Perspektif NU di Tengah Kehidupan Masyarakat. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung






[1] Lismanto SHI. 25 September 2014. Sejarah Lengkap Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja).
[2] Mujamil Qomar, IMPLEMENTASI ASWAJA DALAM PERSPEKTIF NU DI TENGAH KEHIDUPAN MASYARAKAT, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, Agustus 2014 . hal 169

Tidak ada komentar:

Posting Komentar